Lagu CInta

">">

Segera Ber-KB Pasca Melahirkan, Apa Perlunya?

Kamis, 18 November 2010
 Oleh : Mahasiswa Unsyiah Banda Aceh
Banyak hal negatif bisa terjadi jika ibu terlalu cepat hamil setelah melahirkan. Ketika bayinya masih berusia empat bulan, Astina Bakti hamil anak kedua. Ia merasa bimbang menerima anugerah tersebut. Di satu sisi, kehadiran anak kedua memang bagian dari rencana sekaligus harapan hidupnya di masa depan. Namun, si kecil ‘datang’ terlalu cepat. ”Sekarang, memberikan ASI (air susu ibu) eksklusif saja sudah penuh perjuangan apalagi dengan kondisi hamil seperti ini,” keluhnya.
Tiap kehamilan selayaknya memang direncanakan dan diharapkan keberlangsungannya. Namun, banyak orang yang nyatanya tak mampu mencapai kondisi ideal tersebut. Alhasil, mereka menerima karunia luar biasa itu dengan muka kecut. Astina khawatir pasokan ASI-nya terhenti. Ia juga khawatir si sulung akan kurang perhatian. ”Saya juga cemas memikirkan biaya untuk membesarkan si kecil nantinya,” cetus Astina.
Banyak faktor yang menyebabkan kehamilan tak terencana. Salah satunya, karena tidak ber-KB. Selama ini, Astina yakin dirinya tidak akan hamil pada masa pemberian ASI eksklusif. ”Padahal, kondisi itu hanya bisa tercapai kalau menyusuinya sempurna dan ibu tidak terlalu subur,” komentar ustadzah Dr dr Hj Isnawati Rais MA dalam talkshow interaktif bertema: Menopause dan Keluarga Berencana Ceria yang diselenggarakan RSIA Muhammadiyah, Taman Puring, Jakarta, Ahad (27/4).
Kondisi ibu belum memungkinkan
Andai saja Astina ber-KB segera setelah melahirkan, dilema semacam itu tak akan menghinggapi dirinya. Apa perlunya segera ber-KB pasca melahirkan? Dr Dewi Rumiris SpOG berpendapat, KB penting untuk kebahagiaan keluarga. ”Utamanya terkait kesehatan ibu dan anak,” cetusnya.
Beberapa saat setelah melahirkan, tubuh sesungguhnya masih dalam tahap pemulihan. Kadar hemoglobin (Hb), protein, dan kalsium tubuh belum lagi kembali ke kadar yang normal. ”Karena itu, kondisi ibu tak memungkinkan untuk langsung mengandung lagi,” jelas dokter yang akrab disapa Riris ini. Andaikan beberapa bulan setelah melahirkan terjadi kehamilan, pertumbuhan janin bisa terpengaruh menyusul rendahnya sel darah merah ibu. Efeknya tak bisa diremehkan. ”Akan terlahir bayi kecil dan gampang hiperglikemia (kadar gula darah meningkat secara drastis),” urai Riris.
Rendahnya Hb juga dapat memengaruhi masa persalinan. Prosesnya akan menjadi panjang dan ibu membutuhkan rangsangan karena pembukaan mandek, tak maju-maju. ”Bisa juga terjadi perdarahan akibat kontraksi rahim yang tidak adekuat (memadai) untuk merapatkan kembali rahim,” ucap Riris yang meraih gelar dokter umum dari Unversitas Padjadjaran, Bandung ini. Sementara itu, kurangnya kadar protein akan berdampak pada pertumbuhan uterus, payudara, plasenta, dan juga janin. Pada bayi, efeknya akan mudah terlihat oleh dokter. ”Di usia kandungan delapan bulan, beratnya mungkin cuma 1.500 gram,” kata Riris.
Rendahnya kadar protein dalam darah ibu dapat pula menyebabkan plasenta letak rendah dan plasenta previa yang menyulitkan proses melahirkan. Itu terjadi lantaran janin kurang asupan makanan. Maka, janin pun mencari tambahan makanan dari ari-ari. Akibatnya, ari-ari menjadi melebar, menutup jalan lahir, dan dapat mengakibatkan perdarahan pada bulan-bulan terakhir masa kehamilan. ”Jika sudah demikian, ibu harus dioperasi caesar,” imbuh dokter yang menamatkan studi spesialis kebidanan dan kandungan pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) ini.
Belum normalnya kadar kalsium di tubuh ibu pun punya pengaruh yang tak kalah dahsyatnya. Seorang pasien Riris mengalami kerontokan gigi dalam jumlah banyak. Kemalangan itu didapat oleh ibu berusia 38 tahun yang hamil anak ke lima setelah beberapa bulan melahirkan putra keempat. ”Ibu tersebut juga malas minum suplemen kalsium,” ungkap Riris.
Selain masalah fisik, kehamilan yang beruntun juga ada pengaruhnya pada kondisi psikis, terutama pada ibu dan anak yang dilahirkan sebelumnya. Pengasuhan anak dapat terbengkalai. Padahal, masa balita adalah periode emas tumbuh kembang anak, masa pembentukan kepribadiannya dan pertumbuhan otak. Asupan ASI terhadap si kecil juga berpotensi terganggu. ”Jika ini terjadi, kecukupan nutrisi otak dan tubuh bayi tentu akan bermasalah,” ujar Riris. Berbahaya,

0 komentar:

Posting Komentar